top of page

Risiko Bencana

Gempa Bumi
Gempa bumi di Pulau Samosir mulai terdeteksi sejak 23 Januari dan hingga 19 April 2021 telah terjadi sebanyak 63 kali. Semua sumber gempa sangat dangkal, yaitu kurang dari 5 kilometer di bawah tanah.

Sebagian gempa ini memang tidak dirasakan masyarakat karena terlalu kecil kekuatannya, tetapi terekam oleh seismograf Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono, di Jakarta, Kamis (22/4/2021), mengatakan, rentetan gempa ini memiliki magnitudo (M) terkecil 0,8 dengan kedalaman 2 kilometer pada 19 April 2021. Sementara gempa dengan magnitudo terbesar mencapai 3,9 yang terjadi pada 15 Maret 2021 dengan kedalaman 5 km.

”Guncangan gempa M 3,9 ini dirasakan lemah oleh warga Samosir dalam skala intensitas II MMI (modified mercalli intensity),” kata Daryono.

Melihat frekuensinya, menurut Daryono, fenomena di Pulau Samosir ini diklasifikan sebagai gempa kerumuman atau swarm. Fenomena swarm merupakan serangkaian aktivitas gempa dengan magnitudo relatif kecil dengan frekuensi kejadiannya sangat tinggi dan berlangsung dalam waktu yang relatif lama di wilayah sangat lokal.

Fenomena gempa swarm sudah beberapa kali terjadi di Indonesia, misalnya yang melanda Klangon, Madiun, pada Juni 2015; di Jailolo, Halmahera, pada Desember 2015 dan September 2017; dan Mamasa, Sulawesi Barat pada November 2018.

”Kebanyakan kasus swarm terjadi karena proses kegunungapian (vulkanik) dan hanya sedikit diakibatkan oleh aktivitas tektonik murni,” kata Daryono.

Menurut dia, gempa swarm vulkanik terjadi karena adanya gerakan fluida magmatik yang mendesak dengan tekanan ke atas dan ke samping tubuh gunung melalui saluran magma (conduit) atau bagian yang lemah (fracture dan patahan) dari gunung tersebut.  Intrusi magmatik yang memotong lapisan batuan ini disebut dike.

Dengan energi dorong dan tekanan dike ke atas yang terus-menerus melewati bagian tubuh gunung, maka akan terjadi proses rekahan perlahan-lahan hingga menyebabkan gempa kecil yang terjadi berulang-ulang dan tercatat oleh sensor seismograf.

Sekalipun kekuatannya relatif kecil, tetapi karena frekuensinya sangat tinggi, gempa swarm bisa menimbulkan kerusakan. Seperti terjadi di Jailolo pada September 2017, dalam tiga hari bisa mencapai 1.248 kali gempa bumi.

Risiko Bencana: About
nj.PNG
Risiko Bencana: Image

Vulkanik Toba

Bagi geolog senior Indyo Pratomo, gempa swarm ini lebih seperti alarm yang mengingatkan kita bahwa Pulau Samosir berada di atas kawah raksasa Gunung Toba. ”Kawasan Kaldera Toba tetap gunung api, yang memiliki sejarah letusan terbesar dalam sejarah modern. Kalau saya cermati, gempa swarm di Pulau Samosir berpusat di area sekitar panas bumi dan cryptodome, yaitu kubah sisa magma di bawah permukaan,” katanya.

Letusan supervolcano Toba sekitar 74.000 tahun lalu menjadi erupsi gunung api paling dahsyat dalam sejarah bumi. Setelah letusan hebat ini, kubah gunung Toba runtuh dan melalui proses ribuan tahun akhirnya terisi air dan terbentuk danau vulkanik terbesar di dunia. Namun, menurut Indyo, bagian yang runtuh saat itu baru bagian atap dapur magma. Di bawahnya masih ada magma sangat besar.

”Pulau Samosir terbentuk karena sisa-sisa aktivitas magma Toba yang mengangkatnya dari dasar danau. Pulau ini mulai muncul dari permukaan danau sejak sekitar 27.000 tahun lalu. Jadi, Pulau Samosir bisa dianggap sebagai anak gunung api raksasa yang sampai sekarang sebenarnya masih terus terangkat walaupun kecepatannya menurun sejak 20.000 tahun lalu,” kata Indyo, yang beberapa tahun terakhir aktif meneliti Toba bersama sejumlah geolog lain dari luar negeri.

Penelitian Indyo bersama Shanaka L De Silva dari Oregon State University, Amerika Serikat, yang dipublikasikan di jurnal Frontiers in Earth Science (2015) untuk pertama kalinya membuktikan adanya aktivitas magmatis Toba setelah letusan 74.000 tahun lalu dalam bentuk pengangkatan Pulau Samosir dari dasar kaldera.

Bukti-bukti pengangkatan Pulau Samosir tersebut dipastikan dengan adanya fosil ganggang—hanya hidup di dalam air—yang ditemukan di hampir semua lapisan tanah pulau di tengah pulau ini. Indyo dan tim kemudian menghitung laju pengangkatan pulau ini berdasarkan umur lapisan endapan tanah di Pulau Samosir.

Titik tertinggi di Pulau Samosir saat ini berada di ketinggian 1.600 meter di atas  permukaan laut (mdpl). Padahal, titik terdalam atau dasar Kaldera Toba berada di ketinggian 400 mdpl. ”Jadi setidaknya, Pulau Samosir telah terangkat 1.200 meter,” kata Indyo.

Dalam kajian Indyo terbaru bersama Katharine E Solada, juga dari Oregon State University dan tim, yang dipublikasikan di jurnal Quaternary Research pada April 2020, ditemukan, pengangkatan Pulau Samosir dari dasar Kaldera terjadi secara bertahap.

Dengan menganalisis usia sedimen di Pulau Samosir disimpulkan, sisi timur pulau ini terangkat lebih cepat, yaitu rata-rata 2,3 sentimeter per tahun, dibandingkan sisi barat yang rata-rata 0,7 cm per tahun. Sementara itu, usia karbon dalam sedimen Pulau Samosir diketahui memberikan kerangka kronostratigrafi awal mulai dari 12.000 hingga 46.000 tahun yang lalu.

Selain pengangkatan Pulau Samosir, sisa-sisa aktivitas letusan Gunung Toba purba juga ditandai dengan munculnya Pusuk Buhit, gunung api berketinggian 1.972 mdpl, yang berada di pinggir barat danau ini. Bahkan, riset Indyo bersama tim peneliti dari Oregon State University di jurnal internasional Nature Communication pada Mei 2017 menemukan, mineral zirkon (Zr) dalam aliran lava Gunung Sinabung berasal dari sumber yang sama dengan mineral zirkon yang dikeluarkan letusan supervolcano Toba sekitar 74.000 tahun lalu.

Hal ini mengindikasikan ada suplai magma baru dari sumber lebih dalam, yang di antaranya menyebabkan lama dan berkepanjangannya letusan Gunung Sinabung.  ”Ditemukannya zirkon Toba di lava Sinabung mengindikasikan adanya injeksi material ke Sinabung dari sisa aktivitas di dapur magma Toba,” kata Indyo.

Risiko Bencana: Text

Mitigasi Bencana

Kini, dengan terjadinya gempa swarm di Pulau Samosir, Indyo menyarankan dilakukan pemantauan intensif. ”Periode ulang letusan Toba diperkirakan 250.000 tahun, dengan data letusan besar terakhir 74.000 tahun, kemungkinannya masih sangat panjang. Namun, Pusuk Buhit masih lebih dekat periode letusannya sekalipun tidak ada catatan sejak tahun 1600-an,” katanya.

Selain Pusuk Buhit, ada banyak ancaman bencana lain yang sebenarnya terdapat di sekitar Danau Toba, yang sekarang telah ditetapkan sebagai tujuan wisata prioritas Indonesia ini.

Menurut Indyo, selain berada di sistem vulkanik raksasa, Pulau Samosir juga memiliki banyak patahan yang terbentuk selama proses pengangkatan. Beberapa gempa skala menengah pernah melanda, misalnya gempa M 5,4 yang melanda kawasan ini pada 11 Juli 2017.

Selain itu, Danau Toba juga hanya berjarak sekitar 20 kilometer sebelah timur dari jalur Sesar Besar Sumatera yang memanjang dari Lampung hingga Aceh. Guncangan gempa yang kuat, menurut Indyo, rentan memicu longsoran batuan di sekitar tebing-tebing terjal sekitar Danau Toba dan juga di Pulau Samosir.

Bencana longsor juga bisa dipicu oleh hujan ekstrem. ”Perlu diingat juga, lapisan tanah di Pulau Samosir ambles karena memang terdiri atas endapan danau. Ini juga harus diperhitungkan dalam pembangunan infrastruktur di sana,” katanya.

Bentang alam Danau Toba dan Pulau Samosir memang menawan ditambah dengan keunikan budaya masyarakat yang hidup di dalam kawah raksasa. Namun, jangan sampai terlena karena seiring dengan masifnya pengembangan infrastruktur dan besarnya kunjungan wisatawan, risiko yang harus dikelola juga membesar. Kerentanan bencana dan rapuhnya daya dukung lingkungan di Danau Toba ini harus menjadi satu paket dengan pengembangan wisata di kawasan ini.

Risiko Bencana: Text
bottom of page