top of page

Kaldera Toba Ditetapkan Jadi UNESCO Global Geopark

Paris, Prancis - Dewan Eksekutif United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) menyepakati Kaldera Toba ditetapkan sebagai UNESCO Global Geopark pada Sidang ke-209 Dewan Eksekutif UNESCO di Paris (07/07/2020). Anggota Dewan Eksekutif menetapkan 16 UNESCO Global Geopark baru, termasuk Kaldera Toba.
“Melalui penetapan ini, Indonesia dapat mengembangkan geopark Kaldera Toba melalui jaringan Global Geoparks Network dan Asia Pacific Geoparks Network khususnya dalam kaitan pemberdayaan masyarakat lokal," tutur Duta Besar Indonesia untuk Prancis merangkap Andorra, Monako dan UNESCO, Arrmanatha Nasir setelah penetapan Kaldera Toba.
Pemerintah Indonesia telah berhasil meyakinkan UNESCO bahwa Kaldera Toba memiliki kaitan geologis dan warisan tradisi yang tinggi dengan masyarakat lokal khususnya dalam hal budaya dan keanekaragaman hayati. Dalam konteks inilah, negara anggota UNESCO mendukung Kaldera Toba dilestarikan dan dilindungi sebagai bagian dari UNESCO Global Geopark.
Penetapan Kaldera Toba sebagai UNESCO Global Geopark, memberikan kesempatan dan sekaligus juga tanggung jawab bagi Indonesia, khususya bagi masyarakat setempat. Penetapan ini dapat mendorong pengembangan perekonomian dan pembangunan berkelanjutan di Kawasan tersebut. Melalui  pengembangan  geo-pariwisata yang berkelanjutan, terbuka peluang bagi masyarakat setempat  untuk promosi budaya, produk lokal serta penciptaan lapangan pekerjaan yang lebih luas. Pada saat yang sama, dengan adanya pengakuan dan perhatian dunia terhadap Kaldora Toba, Pemerintah dan masyarakat setempat berkewajiban untuk  meningkatkan dan terus menjaga kelestarian lingkungan dan keutuhan dari Kawasan Kaldora Toba.
Penetapan Kaldera Toba sebagai UNESCO Global Geopark, merupakan proses panjang dari upaya bersama berbagai pemangku kepentingan baik Pemerintah Pusat dan Daerah maupun masyarakat setempat yang tinggal di kawasan danau Toba. “Proses persiapan untuk mendapatkan pengakuan UNESCO bagi Kaldera Toba, menunjukan komitmen tinggi dan kerja sama yang baik dari semua pihak di Indonesia sejak awal proses, dari pengumpulan data, menyelenggarakan berbagai workshop, penyusunan dan negosiasi dokumen nominasi untuk diajukan ke UNESCO," ujar Dubes Arrmanatha Nasir.
Kaldera Toba berhasil masuk daftar UNESCO setelah dinilai dan diputuskan oleh UNESCO Global Geoparks Council pada Konferensi Internasional UNESCO Global Geoparks ke-IV di Lombok, Indonesia, pada tanggal 31 Agustus-2 September 2019.
Kaldera Toba, Provinsi Sumatra Utara terbentuk dari ledakan super volkano 74.000 tahun lalu. Dasar kaldera tersebut dipenuhi dengan air dan menjadi danau terbesar di Indonesia. Keindahan Kaldera Toba dan kekayaan budaya yang dimiliki menjadikan Danau Toba sebagai salah satu tujuan wisata andalan Indonesia yang masuk dalam daftar '10 Bali Baru'.
Selain Kaldera Toba, Indonesia telah memiliki 4 situs UNESCO Global Geopark lainnya, yakni, Batur, Cileteuh, Gunung Sewu dan Rinjani. Indonesia juga memiliki banyak kekayaan alam dan budaya yang masuk dalam daftar UNESCO antara lain 10 warisan budaya tak benda 9 situs warisan budaya dan alam, serta 16 cagar biosfer yang telah tercatat di UNESCO.
(Sumber: KBRI Paris)

Sejarah: Text

Geopark Toba

Bagaimana sejarah didalamnya ?

Kaldera Toba

Kaldera Toba ditetapkan sebagai Global Geopark pada Juli 2020 lalu. Kaldera itu lahir dari letusan mahadahsyat Gunung Toba pada 74.000 tahun silam.

Gunung Toba sudah tiga kali mengalami letusan hebat yang disebut dengan supereruption. Letusan Gunung Toba terakhir kalinya pada 74.000 tahun silam.

Letusan ini membuat lebih setengah permukaan bumi tertutup abu vulkanik selama bertahun-tahun. Jejak letusan Gunung Toba kala itu ditemukan di hampir seluruh permukaan bumi, berupa sisa-sisa abu vulkanik yang menyatu dalam tanah.

Di India misalnya, ditemukan jejak abu vulkanik Gunung Toba setebal 12 sentimeter. Debu vulkanik yang terhambur dari Gunung Toba menyelimuti lebih dari separuh permukaan bumi.


Hal itu membatasi masuknya sinar matahari hingga mengubah iklim dan memicu gagal panen di banyak belahan dunia. Tragedi berikutnya pascasupererupsi Gunung Toba yang dihadapi manusia yang hidup di zaman itu adalah kelaparan dan kematian.

​

Letusan itu membentuk kaldera raksasa dengan panjang 100 kilometer dan lebar 30 kilometer. Pakar Kaldera dari Eastern Illinois University, Amerika Serikat, Craig Alan Chesner, menjadi salah satu peneliti yang intensif menguak letusan pada 74.000 silam.

Sebagaimana dikutip dari laman indonesia.go.id, beberapa wkatu lalu, Chesner sudah bolak-balik meneliti Toba dan menyebut Toba adalah rumah keduanya.

Letusan Muda

Craig dan koleganya sesama ahli kaldera sepakat, Toba adalah laboratorium terlengkap di muka bumi mengenai kaldera. Pasalnya, warisan letusan gunung itu masih banyak yang bisa ditemukan secara utuh. Menurut mereka, peristiwa 74.000 tahun lalu itu termasuk letusan muda secara geologis.

​

Penelitian Chesner yang paling fenomenal adalah tentang bathymetric atau kedalaman serta pemetaan dasar air, seperti danau atau laut (pada 2005 dan 2008).

Berdasarkan penelitian itu, Chesner menyebutkan, kedalaman Danau Toba tidak rata, tetapi bervariasi, antara 50 meter dan 500 meter. Pengukuran bathymetric yang dilakukan Chesner menggunakan metode pengambilan data kedalaman dengan single-beam sonar.

Metode ini memakai proses pendeteksi perambatan suara (frekuensi) di bawah kapal penarik. Selanjutnya, pencatatan perambatan suara itu menghasilkan peta-peta kedalaman air yang akurat.

Penelitian terkini tentang letusan Gunung Toba menyimpulkan, letusan pertama terjadi sekitar 800.000 tahun silam. Letusan ini menghasilkan kaldera di selatan Danau Toba meliputi daerah Prapat dan Porsea.

Sedangkan letusan kedua memiliki kekuatan lebih kecil terjadi sekitar 500.000 tahun lalu dan menghasilkan kaldera di sisi utara danau. Tepatnya di daerah antara Silalahi dan Haranggaol.

​

Letusan terdahsyat terjadi 74.000 tahun silam dan menghasilkan Danau Toba seperti sekarang dengan Pulau Samosir di bagian tengahnya. Letusan yang ketiga inilah yang menarik perhatian masyarakat dunia.

Untuk ukuran gunung super atau supervolcano, letusan dahsyatnya terbilang masih sangat baru. Jejak letusannya pun terbilang masih utuh dan sangat menggoda para ahli kaldera dunia untuk menelitinya terus-menerus.

Dua Dapur Magma

Kedahsyatan letusan gunung api raksasa (supervolcano) Toba itu bersumber dari gejolak bawah bumi yang hiperaktif. Lempeng lautan Indo-Australia yang mengandung lapisan sedimen menunjam di bawah lempeng benua Eurasia, tempat duduknya Pulau Sumatra, dengan kecepatan 7 sentimeter per tahun.

Gesekan dua lempeng di kedalaman sekitar 150 kilometer di bawah bumi itu menciptakan panas yang melelehkan bebatuan, lalu naik ke atas sebagai magma. Semakin banyak sedimen yang masuk ke dalam, semakin banyak sumber magmanya. Kantong magma Toba yang meraksasa disuplai oleh banyaknya lelehan sedimen lempeng benua yang hiperaktif. Bila melihat jarak tiga kali letusan yang mencapai ratusan ribu tahun, rasanya sang ‘raksasa’ Gunung Toba ini masih akan meneruskan tidur panjangnya dalam waktu yang sangat lama.

​

Kolaborasi tiga peneliti dari German Center for Geosciences (GFZ) dengan Danny Hilman dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Fauzi dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pada 2010 menyimpulkan bahwa di bawah Kaldera Toba terdapat dua dapur magma yang terpisah.

Dengan dapur demikian, diperkirakan volume magma mencapai setidaknya 34.000 kilometer kubik. Itu mengkonfirmasi banyaknya magma yang pernah dikeluarkan gunung ini pada supereruption 74.000 tahun silam.

Penelitian Chesner pada 1991 juga menemukan bahwa magma di Toba masih ada. Kehadiran magma setelah letusan 74.000 tahun lalu bisa dilihat dari munculnya air panas di sisi barat Danau Toba. Lantas, apakah fenomena ini layak dikhawatirkan?

Apakah letusan dahsyat kaldera Toba masih bisa terjadi? Para pakar kaldera menampik kemungkinan Kaldera Toba akan meletus dalam waktu dekat.

Sejarah: List
bottom of page